Friday, February 1, 2008
ALA, SEJARAH YANG TERKOYAK
Yusra Habib Abdul Gani[1]
AKANKAH dua kuntum bunga –Renggali-Seulanga– akan rontok dari kelopaknya? Secara politis, bukan mustahil wil. Provinsi NAD terkoyak geograpinya, seandainya pembentukan Provinsi ALA menjadi kenyataan. PP No. 78/2007 sebagai pengganti PP No. 129/2000 dasar hukumnya. Sebelumnya, tersandung pada mekanisme perundang-undangan dan kemauan politik (political will) DPR-RI dan Pemda. Penguasa Provinsi NAD tak rela berpisah, sementara perwakilan dari Kab. Aceh Tengah, Bener Merie, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Alas dan Singkil sudah berbenah mau berpisah tak mau lagi tinggal satu rumah. Keengganan berpisah, mungkin karena alasan sejarah, sosial budaya atau ingin mempertahankan prestige rapuh (pragile prestige), yang seakan-akan perpisahan ini menggugat wibawa Pemda Acheh dan memperuncing perbedaan politik dan budaya antara komunitas Gayo dan komunitas Acheh Pesisir yang sejak ratusan tahun hidup bersama, senasib dan seperjuangan. Dalam konteks inilah yang diulas di sini.
Secara sosiologis, Renggali-Seulanga seumpama lirik lagu, yang baru bisa nikmati lantaran paduan dari beberapa jenis instrumen musik yang saling mendukung. Berbeda bunyi tapi konsep dan kuncinya sama. Begitulah kehidupan politik dan sosial budaya antara komunitas Gayo dan Acheh Pesisir. Persis seperti di-ilustrasi-kan dalam lirik Didong (group Musara Bintang): ”Renggali Megah i Biruën, i Takéngon bunge Seulanga” (”Renggali Megah di Bireuën di Takéngon bunga Seulanga.”) Di sini terdapat indikasi tentang adanya korelasi ikatan sejarah dan sosial budaya yang menghubungkannya. Perbedaan itu ada, misalnya: ”Pakriban u meunan minjeuk; Pakriban du meunan aneuk”. (Bagimana Kelapa, begitu pula minyaknya; Bagaimana Ayah begitu juga anaknya.) Berbeda dengan falsafah Gayo: ”Anakni reje mujadi kude, anak ni Tengku mujadi asu” (anak raja bisa jadi kuda, anak Tengku bisa jadi anjing”.) Model pertama mengikuti teori integral (pembulatan), sedang model kedua mengikuti teori deferensial (relativitas). Tokh dalam sejarahnya, kedua model ini bisa bersatu dalam adonan kimiawi sosial-politik, hingga mampu melahirkan bangunan negara –ACHEH– suatu masa dahulu.
Secara historis, Renggali-Seulanga bagaikan organisme tubuh yang saling ketergantungan satu dengan lainnya. Hidup bersama dalam wadah Acheh, sebagai negara merdeka dan berdaulat. Fakta sejarah membuktikan bahwa, Sultan Acheh memberi hak penuh kepada raja-raja sulurh Acheh, untuk mengatur negeri masing-masing, termasuk memberi hak kepada Reje Linge untuk mencetak uang Acheh [Ringgit] yang dipercayakan kepada ”Kupang Repèk” di Takèngon, khusus untuk keperluan hantaran uang dalam perkawinan dan transaksi perdagangan lokal. Hak ini diberi, atas pertimbangan sarana transportasi dan komunikasi yang sukar dijangkau pada masa itu. Reje Linge, akan melaporkan jumlah uang yang dicetak kepada Sultan Acheh. Ini merupakan fakta yang tidak kurang menariknya dalam sejarah Acheh.
Untuk melihat bagaimana membangun kepercayaan (trust building) antara Renggali-Seulanga, bisa dilihat dari fakta sejarah sbb: Meurah Johan Syah Al-Khahar (anak Raja Linge) misalnya, megah sebagai Renggali di Acheh Pesisir. Beliau diangkat menjadi Sultan Acheh Darussalam, hari Jum’at, 1 Ramadhan tahun 601-631 H (1205-1234 M) dengan gelar Sultan Alaidin Johan Syah. ”Dalam Kerajaan Acheh Darussalam, yang akan menjadi rajanya ialah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, perdamaian, keikhlasan dan cinta kasih dan siapapun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini” (Meurah Johan, Sultan Aceh Pertama. A Hasjimi. Bulan Bintang, 1976, halaman 103). Meurah Johan Syah sebagai panglima perang yang menakluki Johor dan Meurah Johan Syah-lah sebenarnya peletak dasar penyatuan seluruh Acheh [sebagaimana wujud sekarang]. Ali Mugyat Syah –Sultan Acheh pertama– yang berkuasa tahun 1500-an dalam keadaan terima jadi.
Datu Beru –sepucuk Renggali– satu-satunya wanita yang duduk dalam Parlemen Acheh di masa pemerintahan Ali Mughayat Syah. Sebagai seorang filosuf, ahli hukum dan politisi kondang, beliau berani berhujjah dengan Qadhi malikul ´adil dalam kasus pembunuhan Bener Meria (anak kandung Meurah Johan) oleh Reje Linge ke-12.
Tengku Tapa adalah Renggali yang harum di Acheh Timur saat peperangan melawan penjajahan Belanda. Karena keberaniannya, hingga Komando Pusat Militer Belanda mempropagandakan bahwa Tengku Tapa enam kali mati.
Malik Ahmad, anak kandung Meurah Sinubung [cucu Munyang Mersa] diangkat menjadi Raja Jeumpa menggantikan mertuanya, karena berhasil menghentikan perseturuan antara kerajaan Jeumpa dan Samalanga. Meurah Silu, adik kandung Malik Ahmad, dilantik menjadi raja Pasé pertama, karena kwalitas ketokohannya yang berhasil menghentikan perang antara Lhôk Sukon dan Geudông. Kata „Meurah“ dalam bahasa Gayo, berarti „Malik“ dalam bahasa Arab. Kata „Silu“ dalam bahasa Gayo, bermakna „saléh“ dalam bahasa Arab. Itu sebabnya, Renggali dari dataran tinggi Gayo ini kemudian populer dengan panggilan Sultan Malikussaléh.
Selain itu, Meurah Pupuk, yang mengembangkan agama Islam ke Lamno Daya; Meurah Bacang, yang mengembangkan agama Islam ke Tanah Batak; Meurah Putih da Meurah Item (Hitam), yang mengembangkan agama Islam ke daerah Beracan Meureudu; Meurah Jernang, yang mengembangkan agama Islam ke Kalalawé Meulabôh; Meurah Silu [bukan Meurah Silu yang kemudian menjadi Raja Pasé], yang mengembangkan agama Islam Gunung Sinubung Blang Kejren, adalah juga Renggali-Renggali yang megah dalam sejarah pengembangan Islam di Acheh. Sampai sekarang keturunan mereka masih memakai gelar „Meurah“, yang berasal dari keturunan Munyang Mersa, nenek moyang orang Gayo.
Tokoh Gayo di atas adalah Renggali-Renggali berasal dari jenis benih unggul, yang watak dan kwalitasnya melebihi standard umum dan dipandang sebagai representative dari semua sebutan dan jenis Renggali yang kita kenal. Keharuman Renggali unggul ini menembus tembok sentimen sukuisme, clan, fanatisme dan ethnosentris yang kaku. Mereka mampu mengalahkan harumnya bunga-bunga dari jenis lain, sekalipun Seulanga di Acheh Pesisir, yang datang bertandang dari kaum minotitas, tetapi mampu bersaing secara sehat dalam kancah politik Acheh, megah dan dikagumi.
Sementara itu, figur Seulanga di Gayo lebih dikenal sebagai toké. Lintas-dagang antara dataran tinggi Gayo dan Pesisir sudah berlangsung lama sekali. Kita bisa saksikan, pusat perdagangan strategis di kota Takengon dan daerah sekitarnya, dimoninasi oleh saudagar asal Acheh dan imigran asal Minangkabau. Orang Gayo tidak merasa iri dan benci, walau wilayah kedaulatannya di coup oleh asing. Selain itu, interaksi sosial terjadi karena hubungan perkawinan.
Diakui bahwa, silang budaya seni antara Seulanga-Renggali tidak mungkin dipadu, tapi tidak pernah beradu. Perbedaan bahasa bukan faktor perenggang dan berinteraksi, karena bahasa Melayu dipakai sebagai pertuturan sehari-hari. Bahasa Melayu adalah bahasa resmi di Acheh dari zaman dahulu sampai sekarang. Surat-menyurat resmi, seperti: surat Panglima Polém Cs. yang mengajak Tengku Tjhik Mahyuddin di Tiro menyerah pada tahun 1907 dalam bahasa Melayu jawi, bukan bahasa Acheh.
Kisah di atas adalah khazanah cerita lama. Sekarang segalanya sudah berubah, terjadi globalisasi dan pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menggerogoti keaslian budaya kita. Di kalangan komunitas Gayo, terjadi proses pemudaran (ubes). Renggali yang dahulu pernah mekar, kini tidak lagi harum di Acheh. Dalam konteks ini ada dua faktor penyebab. Pertama, faktor intern, yakni: kurangnya penghayatan nilai-nilai sejarah Gayo dan masih mempertahankan nilai-nilai lama yang tidak seiring dengan tuntutan zaman. Padahal Tjèh Toèt pernah berdendang: „Tutu mesin gere mubelatah, mah ilen ku roda. Rôh ke lagu noya“ ( Padi yang digiling di fabrik sudah bagus, buat apa dibawa lagi ke Roda. Logiskah itu?). Secara pragmatis, Toét mengajak agar bersikap terbuka, kritis, peka dan cerdas membaca tanda-tanda zaman. Kedua, faktor extern, yakni: munculnya krisis kepercayaan dengan menyekat Renggali-Renggali untuk berperan dalam jajaran birokrasi, khususnya di tingkat Provinsi. Tindakan ini dilakukan secara sistematis lewat dominasi clan dan sentimen kesukuan terselubung. Misalnya saja: dari 21 Gubernur Acheh [mulai dari Teuku Nyak Arief – 1945-1946 sampai kepada Irwandi Yusuf – 8. Februari 2007-2012], tidak sekuntum Renggali pun dipetik. Soalnya ialah: tidak memenuhi standard verifikasi kwalitas atau korban dari ketidak percayaan? Hal ini perlu dikaji dan didiskusikan. Yang menjadi kendala latén di kalangan kita ialah: masih kentalnya budaya tabu dan „tak enak“ mempersoalkan secara terbuka masalah politik dan sosial kemasyarakatan dalam urusan intern Acheh. Ini merupakan faktor penghalang untuk menyatukan persepsi tentang Acheh dalam arti perasaan memiliki dan tanggungjawab bersama. Jika nilai-nilai budaya tadi masih terus dipertahankan, sudah tentu melahirkan rasa cemburu dan praduga negatif antara sesama, sebab setiap institusi kemasyarakatan memiliki sentimen: rasa kebanggaan terhadap seni budaya, resam dan sejarah masing-masing. Dalam kaitan inilah, orang Gayo merasa berjasa dalam sejarah kepemimpinan Acheh lewat Renggali-Renggali yang harum, tetapi tidak menduga kalau satu saat, jasa itu tidak dikenang dan tidak dihargai orang, lemas dalam cemas. Ketika tengah berada dalam situasi yang demikian, barulah orang Gayo nyeloteh: „Kusuen Lumu murip we kerlèng, kusuen budi murép we rèngèng.“ (Ku tanam Keladi tumbuh juga èncèng gondok, kutanam budi tumbuh juga lirikan sinis.) Dalam dinamika sosial, melupakan jasa adalah sah-sah saja. Dalam pepatah Acheh disebut: „Leupah krueng, glung rakit“ (Selamat ke seberang sungai, tendang rakit). Hal ini terjadi di saat Renggali dinilai tidak lagi perlu sebagai tiang penopang. Bagaimanapun juga, tindakan seperti ini, bukan berarti mengubur atau mengurangi arti sejarah itu sendiri.
Akankah Renggali tidak megah lagi di Bireuën dan Seulanga tidak megah lagi di Takengon? Secara politik-geography akan terbukti seandainya Provinsi ALA wujud. Jika kita mau jujur, kehadiran Provinsi ALA sebenarnya konsekuensi logis dari prilaku kolektif, yang selama bertahun-tahun menabur ketidak percayaan, pilih kasih dan ketidak adilan dalam konstribusi dan peluang berpartisipasi dalam birokrasi kepada non komunitas Acheh Pesisir. Sekarang, tibalah waktunya kita munuai Provinsi ALA. Bersyukurlah! Mengapa mesti ditolak, apalagi Provinsi NAD dan ALA berada dalam kandungan NKRI dan sama-sama satu Ibu dan menyusu kepada induknya - Jakarta. Sepuluh Provinsi lain boleh saja lahir di bumi Acheh, yang pasti, Acheh sudah memiliki surat tanah -setifikat- sebagai bukti sebuah negara berdasarkan peta yang dibuat oleh Inggeris tahun 1883 dan 1890. Renggali selamanya mencintai Seulanga, tapi cinta kan tidak mesti harus bersatu. Bukan?[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar